Add to Goodreads
Sebagian dari kita mungkin ada yang mencintai seseorang karena keadaan sesaat. Karena dia baik, karena dia pintar, even mungkin karena dia kaya. Tidak pernah terpikir apa jadinya, kalau dia mendadak jahat, mendadak tidak sepintar dahulu, atau mendadak miskin.
Will you still love them, then?
That's why you need commitment.
Don't love someone because of what/how/who they are.
From now on, start loving someone, because you want to.
Yeah, call me not so up-to-date person, or maybe kamseupay or what ever!
Kalau kata temenku sih, anti main-stream!
Di saat semua orang heboh dengan film ini atau dengan bukunya, aku malah tidak tertarik sama sekali. Tapi sekali lagi karena aku harus menunggu seseorang dan daripada aku menunggu tanpa melakukan apa-apa, akhirnya aku nangkring di toko buku dan liat buku ini kebuka. Sooo, don't blame if I choose to read the thinnest open book in the book store! hahaha
Emm.. maaf kalau bahasaku agak kasar, tapi buku ini terlalu berisik untuk versi aku. Versi aku, ya.. Tapi isinya bagus kok, berkisah tentang sepasang suami istri yang saling mencintai tapi sedang dalam masa perjuangan untuk memiliki anak.
Kebanyakan sih aku liat tekanan yang mereka dapatkan adalah dari diri mereka sendiri. Terutama istrinya, Tata. Dia takut kalau dirinya membuat suaminya kecewa karena belum bisa memberikan anak. Dia juga takut kalau dinyatakan mandul. Banyak ketakutan Tata karena dia malu belum punya anak, sementara teman-temannya yang lain sudah punya anak. Faktor lingkungan membuatnya menjadi wanita yang insecure.
Hingga ketika dokter menyatakan dirinya tidak mandul, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah suaminya yang mandul? Karena sebenarnya perbandingan wanita yang mandul di bandingkan dan pria yang mandul, selalu dimenangkan oleh pria.
Saat itulah sang suami yang ketakutan, dia takut kalau istrinya akan kecewa. Dia tahu bahwa istrnya sangat menginginkan seorang anak di keluarga mereka. Kakang itu ibarat pria yang selama ini merasa dirinya jantan, kemudian dipertanyakan kejantanannya.. #ups.. hahaha
Isi buku ini mengingatkanku tentang pesan seorang sahabat, yang sekarang terbaring lemah di rumah sakit karena lupus, dia bilang: "Sebelum menikah itu, masalah bisa punya anak atau tidak harus sudah di pastikan sejak awal, jadi kedepannya tidak akan diperdebatkan. Hal itu juga harus diketahui oleh keluarga masing-masing pasangan!"
Ya, cinta itu memang indah, kita memulai pernikahan juga dengan mimpi dan harapan yang indah. Tapi bila dibelakangnya semua tidak berjalan sesuai dengan harapan kita, apa kita harus meninggalkannya? Bukankah itu sama dengan lari dari kenyataan.
Aku ingat sebuah kutipan yang aku dengan di suatu minggu.
"Orang tua dan anak bukan aku yang memilih, Tuhan yang sudah menyediakannya. Tapi istri/suami, aku yang memilihnya karena itu aku memilih untuk menghabiskan hidupku dengan dia."
tapi pendeta yang menyampaikan kutipan itu merubah kalimat tersebut.
"Orang tua dan anak bukan aku yang memilih, Tuhan yang sudah menyediakannya. Tapi istri/suami, aku yang memilihnya dengan petunjuk Tuhan, karena itu aku memilih untuk menghabiskan hidupku dengan dia."
Aku suka dengan jalan pemikiran Kakang dan Tata, mereka memang saling mencintai. Tapi dalam dunia nyata, cinta yang seperti itu sulit untuk dicari. Aku ingat sepasangan kekasih yang saling menyanyangi, ketika pacara si wanita sudah bertanya pada sang pria, "Kalau nanti kita sudah menikah dan aku tidak bisa kasi anak, bagaimana reaksimu"
Si pria menjawab dengan sangat bijaksana, "Pernikahan itu kan tidak selalu harus punya anak."
"Huh! Itu sih sekarang kau bilang, kalau nanti udah nikah, pasti kau selingkuh!"
"Nah, itulah tugasmu nanti. Ingatin aku kalau aku sudah berniat jelek." Sang pria tersenyum dan mencium kekasihnya.. hahaha
Ah.. itu memang hanya kisah sepasang kekasih. Kisah suami istri yang hidupnya bahagia tanpa anak ataupun yang bercerai karena tidak punya anak, sudah banyak djumpai di negri ini. Saya hanya bisa berharap agar siapapun yang terluka akan dipulihkan.
No comments:
Post a Comment